JAKARTA–
•Setiap kali penggusuruan, Pemprov DKI kerap menebar stigma buruk dengan mengatakan, bahwa warga yang tinggal di Kampung Pulo dan Bukit Diri adalah penduduk liar, ilegal, preman dan menduduki tanah negara. Bahkan menjadi dalih sebagai penyebab terjadinya banjir di Jakarta.
•Hal itu dikatakan Romo Sandyawan Sumardi (Aktivis Ciliwung Merdeka) dalam Diskusi Publik “Jakarta Untuk Perubahan”, belum lama ini di Resto Mbok Berek, Jakarta Selatan.
•Hadir sebagai narasumber, yakni: Ridwan Saidi (budayawan), Ubeidillah Badrun (pengamat politik), Bambang SP (Tata Kota), dan Edy Mulyadi sebagai moderator.
•Dalam diskusi tersebut, Romo Sandy bicara tentang penggusuran warga di Kampung Pulo dan Bukit Duri. Seperti diketahui, penggusuran di Kampung pulo adalah penggusuran pertama yang dilakukan secara massif dan sistematis serta terencana.
•Dikatakan Romo, secara operasional, Pemprov DKI berkoordinasi dengan kelurahan, kecamatan, walikota dan kepala dinas. Pengalaman penggusuran di Bukit Duri kemarin misalnya, ada proses rayuan dengan mengatakan, bahwa tindakan menggusur ini justru memanusiakan warga Jakarta. Selain merayu, juga menekan, menteror dan mengadu domba sesama warga.
•"Saya alami teror itu. Saya melihat ada politik adu domba. Bahkan saya punya anak angkat yang bernama Cepot, dahulunya pemakai narkoba, direkrut untuk menjadi Cepu atau intel sipil (informan) menjelang gusuran. Dia dipinjemin pistol untuk mendodong temen-temennya sendiri,” kata Romo yang selalu membela rakyat miskin.
•Ketika menggusur Kampung Pulo, Pemprov DKI mengunakan aparat gabungan, mulai dari Satpol PP, polisi, hingga militer (anggota TNI). Jumlahnya waktu itu mencapai 2.500 personil.
•Penggusuran di Kampung Pulo, saat itu Pemprov DKI menggunakan dua perda, yakni Perda No 1 tahun 2012 tentang rencana proyek normalisasi sungai Ciliwung dan Perda No 1 tahun 2014 tentang perubahan rencana detil tata ruang, perubahan peruntukan dan rencana sodetan.
•“Ada 4000 KK di kampung itu. Kemudian 530 bangunan, dan yang terkena gusuran ada 1.040 KK. Luas wilayah kampung itu mencapai 8,5 hektar,” kata Romo yang melakukan pendampingan warga Kampung Pulo dan Bukit Duri.”
•Sementara itu, Bukit Duri sebelum digusur pada tanggal 28 September 2016 yang lalu, bukanlah kampung yang besar, jumlah penduduknya yang terkena gusuran sekitar 400 KK, terutama yang tinggal di sekitar bantaran sungai.
Romo yang mendirikan Sanggar Ciliwung Merdeka sejak tahun 2000 ini diresmikan oleh KH. Said Agil Siradj dan dukungan KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur ini kenal dan bersahabat dengan Habib Soleh al Idrus.
•“Setahu saya, ada 5 habaib di Kampung Pulo, salah satunya juga Habib Selon (alm). Tapi habib yang paling berpengaruh dan rendah hati adalah Habib Soleh al-Idrus. Meski beliau, maaf, cacat kakinya, tidak bisa berjalan, tapi paling dihormati warga sekitar.”
•Lebih lanjut, Romo mengatakan, ketika ada masalah di kampung itu, karena akan digusur, Camat dan Lurah setempat beserta Kapolda sempat mendatangi tempat pengajian Habib Soleh al-Idrus. Saat itu, Habib Soleh memimpin Tim 9 yang terdiri dari RT, RW, dan pengurus kelurahan.
•Dikatakan Romo, sebelum digusur, warga merasa punya tanah atau rumah sendiri, begitu juga pekerjaan. Bahkan warga lebih mementingkan pekerjaan ketimbang tempat tidur.
•Ketika Kampung Pulo digusur, warga tak mendapat ganti rugi apapun, seluruh haknya hilang begitu saja. Mereka dipaksa pindah ke Rusunawa Rawa Bebek. (desastian/Islampos)
By Rifki M Firdaus.
0 Response to "Beginilah Pemprov DKI Menggusur, Tebar Stigma Buruk dan Politik Adu Domba"
Post a Comment